Guru Bukanlah Cita-Citaku

            Teeeettt…. teeeet…. teeeett….teeeeett…. Empat kali suara bel berbunyi pada pukul 10.00 WIB, “hhoreeeeeeee” serempak suara riuh riang anak-anak terdengar nyaring. Mereka berhamburan ke kelas masing-masing untuk mengambil tas dan bergegas pulang.

Menyaksikan tingkah mereka membuatku tersenyum sendiri, bayangan masa-masa sekolah terlintas dibenakku dengan jelas. Ya, aku dan teman-temanku melakukan hal yang sama persis dengan murid-muridku ketika menyambut bel berbunyi empat kali sebelum pukul 12.45 WIB. Hal itu menandakan kita pulang sekolah lebih awal karena guru-guru ada rapat atau keperluan lain sehingga tidak bisa mengajar sampai jam pelajaran terakhir. Meskipun aku dan muridku sudah berbeda generasi, ternyata aku dan mereka mempunyai kesenangan yang sama ketika mendapati pulang sekolah lebih awal.

“Waduuh, ada apa ini dengan Bu Santi, kok senyum-senyum sendiri?” sapa Mbak Opah, orang yang biasanya membantu bersih-bersih disekolah kami.

“Eh, Mbak Opah, itu loh melihat anak-anak senang sekali bisa pulang lebih cepat, mengingatkan saya pada waktu saya sekolah dulu. Ternyata kita sama ya, sama-sama senang ketika pulang lebih cepat,” hehehe… aku tertawa menunjukkan gigiku yang gingsul ketika menjelaskan ke Mbak Opah.

“Oalah Bu, yang namanya anak-anak ya tidak jauh beda kesenangannya, hahahaha” kelekar Mbak Opah. “Eh, Bu Santi kok belum berangkat, nanti ketinggalan rombongan loh.” imbuhnya.

“ Iya Mbak, ini masih menyiapkan laptop dan lain-lain untuk menyampaikan materi nanti” Jawabku sambil berkemas dengan agak cepat. “ Ya sudah mbak Opah, saya tinggal dulu ya, keburu acaranya dimulai nanti.” bergegas aku meninggalkan Mbak Opah dengan tak lupa untuk menyempatkan bersalaman dan bersenyum simpul kepadanya.

Hari ini ada seminar Pembelajaran Abad 21 yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten yang diikuti oleh guru-guru dari beberapa sekolah, tak terkecuali sekolahku. Itulah kenapa anak-anak bisa pulang lebih awal dari biasanya. Dan kebetulan aku didapuk sebagai pengisi materi oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten. Bukan tanpa alasan, setelah mengikuti beberapa tes yang ketat, aku terpilih menjadi perwakilan kabupaten mengikuti pelatihan nasional tentang Pembelajaran abad 21 beberapa bulan yang lalu. Pembelajaran yang mengintregrasikan kemampuan literasi, kecakapan pengetahuan, keterampilan, dan sikap, serta penguasaan teknologi yang dirancanguntuk genenrasi abad 21 agar mampu mengikuti arus perkembangan teknologi terbaru sehingga nantinya para siswa bisa berkompetisi engan baik di masa yang akan  datang. Terutama pada ranah komunikasi yang telah masuk ke sendi kehidupan, maka dari situ siswa diharuskan untuk bisa menguasai empat keterampilan belajar (4C), yakni creative and innovatif, Critical thinking to solve the problem, comminication and Collaboration.

Tidak hanya digembleng dengan berjibun materi tentang metode-metode dan stategi pembelajaran yang inovatif, dimana para guru dituntut dapat memfasilitasi siswa untuk membangun pengetahuan sendiri dengan konsep-konsep baru dalam rangka proses perubahan perilaku ke arah yang lebih baik sesuai dengan potensi dan perbedaan yang dimiliki siswa, aku dan beberapa peserta pelatihan nasional lainnya wajib mempraktekkan pembelajaran abad 21 tersebut di daerah terpencil dengan segala keterbatasan sarana dan prasana sekolah, pun input siswa yang rendah. Kami sempat ragu apakah pembelajaran yang disampaikan akan behasil dengan kondisi sekolah seperti itu. Tapi bagaimanapun kami tetap wajib melaksanakannya dengan semangat empat lima.

Pada awalnya pembelajaran inovatif  abad 21 yang kami terapkan tidak menunjukkan hasil apapun. Hampir sebagian besar siswa tidak menunjukkan respon positif. Mereka cenderung pasif dan tidak mempedulikan pelajaran. Namun bukan pahlawan namanya jika kami menyerah begitu saja. Memilah-milah model dan strategi pembelajaran selalu kami lakukan sesuai dengan karakter siswa di kelas. Ketika kami tidak bisa selalu menggunakan laptop dan LCD karena keterbatasan fasilitas sebagai alat pendukung pembelajaran untuk menampilkan media pembelajaran modern, maka kami akan memilih media realia yang ada disekitar lingkungan siswa sehingga akan membantu mereka lebih mudah dalam memahami pelajaran. Jangan ditanya berapa waktu dan tenaga yang kami butuhkan untuk melakukan persiapan pembeajaran.

Dengan gaji yang tak seberapa tentunya semuanya tidak sebanding dengan apa yang kita korbankan. Tapi semua terbayar lunas ketika pada akhirnya para siswa mulai tertarik dengan pelajaran. Respon positif yang mereka tunjukkan dengan meningkatnya motivasi belajar membuat kami  percaya bahwa guru adalah dalang dari semua proses pembelajaran. Hal itu yang membuat kami tertantang melakukan perubahan demi mencerdaskan anak bangsa dan memberi bekal mereka dalam menghadapi perubahan jaman di masa yang akan datang.

Setelah beberapa bulan mengikuti pelatihan, banyak ilmu dan pengalaman baru yang aku dapatkan. Aku merasa sangat beruntung mendapatkan kesempatan yang berharga itu. Semua pengalaman itu bagaikan candu yang membuatku haus untuk terus belajar agar bisa menjadi pengajar yang baik. Tidak ada kebahagiaan yang lebih berharga selain bisa mengantarkan anak-anak sukses dalam pendidikannya, menjadi inspirasi bagi mereka, dan selalu diingat oleh mereka karena menjadi bagian dari jalan hidupnya.

Hal itulah yang menjadikan aku selalu mengucap syukur dengan sedalam-dalamnya, karena Tuhan telah mentakdirkan aku sebagai seorang guru, sebuah profesi mulia yang pantas disebut dengan pahlawan tanpa tanda jasa seperti kata bapakku dulu.

“Kalau kamu kepingin kuliah, ambil jurusan keguruan saja nduk. Bapak ingin kamu menjadi orang yang bermanfaat bagi orang banyak. Walaupun Bapak tidak punya banyak uang, tapi Bapak akan berusaha membiayai kuliahmu sampai selesai.” ujar bapakku saat itu.

“Tapi Santi tidak ingin jadi guru pak.” jawabku

“ Lha kenapa nduk? Menjadi guru itu bagus loh, kamu bisa membantu orang lain untuk menjadi pintar” sergah ibuku yang duduk disebelah bapak sambil menjahit baju bapak yang sobek karena kainnya yang telah menipis akibat terlalu sering dipakai.

“ Santi kepingin kaya Bu” sahutku tegas.

“Nanti kalau Santi kaya, Santi bisa membelikan apa saja yang Bapak dan Ibu mau. Santi bisa membelikan baju yang banyak dan bagus untuk bapak dan ibu, jadi ibu tidak perlu berkali-kali menjahit baju yang sudah usang itu.” tambahku dengan pandangan mata menuju pada baju yang dipegang ibu. Seketika ibuku berhenti menusukkan jarum yang semula menari-nari lincah di baju bapakku.

“Kalau Santi hanya menjadi seorang guru, maka kehidupan Santi tidak jauh dari kehidupan Bapak dan Ibu.” aku menambahkan lagi seraya menoleh kepada bapak dan ibu yang tertegun mendengarkan ucapanku.

“Memangnya kenapa dengan kehidupan kita, Nduk? Walaupun Bapak jadi guru dan tidak punya banyak uang, tapi Bapak dan ibu bisa hidup bahagia. Bapak bisa memenuhi kebutuhan kita. Kita tetap bisa makan dan berpakaian walaupun tidak mewah. Kamupun masih bisa sekolah samapai lulus SMA” sanggah bapakku dengan mata yang berkaca-kaca. Seolah aku melihat ada seonggok hati yang teriris disana.

Bapak memegang pundakku dan menatapku lekat “Ingat ya Nduk, kebahagiaan hidup tidak hanya kita dapatkan dari banyaknya uang yang kita punya, tapi dari ketenangan hati yang kita rasa. Dan jika kamu bermanfaat bagi orang lain, niscaya hidupmu akan tenang dan bahagia karena do’a- do’a mereka.”

Percakapan malam itu berakhir dengan hening. Aku masih tidak setuju dengan ucapan bapak, tapi aku juga tidak mau melawan nasehatnya. Karena aku tidak ingin menabur luka dihati bapak dan ibu. Memang benar apa yang dikatakan bapak, meskipun bapak tidak banyak uang karena hanya bekerja sebagai guru honorer di SD tempat kami tinggal, tapi bapak berusaha untuk mencukupi kebutuhan kami dengan mencari penghasilan tambahan sebagai tukang ojek selepas mengajar. Aku tidak pernah melihat bapak dan ibu mengeluh dengan keadaan seperti itu karena mereka saling mendukung dan mempunyai visi yang sama, yaitu bermanfaat bagi orang lain.

Tapi tidak dengan aku. Aku tidak ingin hidup sangat sederhana seperti bapak dan ibu. Aku ingin sukses, bekerja di kota besar dan mendapatkan banyak uang. Aku ingin membuat orang tuaku bangga sehingga mereka tidak akan merasa rugi menyekolahkan aku sampai keperguruan tinggi.

Setelah percakapan malam itu, bapak dan ibu tak pernah lagi memaksaku untuk masuk jurusan keguruan. Aku tidak tau apa yang mempengaruhi pikiran mereka sehingga mereka mengikhlaskan aku untuk tidak menjadi seorang guru. Apa perkataanku waktu itu sangat menyakitkan bagi mereka? Ataukah mereka membenarkan ucapanku? Dan mereka ingin aku mendapatkan hidup yang lebih layak dari mereka?

Ah, biarlah… Yang terpenting aku berniat belajar dengan sungguh-sungguh, kemudian mencari pekerjaan yang bagus, mengumpulkan banyak uang dan membahagiakan orang tuaku. Bukkankah membahagiakan orang tua itu juga perbuatan yang mulia? Kalaupun aku tidak bermanfaat bagi orang lain, tapi aku bermanfaat bagi orang tuaku.

Gayung bersambut, rupanya Tuhan mengabulkan do’a-do’aku. Aku diterima di Perguruan Tinggi Negri favorit dengan mengambil jurusan non-pendidikan, Ekonomi –Akuntansi, pelajaran yang aku gemari disekolah, menghitung deretan angka yang masuk dan keluar untuk mementukan hasil suatu modal, membuat aku selalu berimajinasi menjadi orang yang bekerja di gedung tinggi dengan ruangan berAC dan hanya mengetik dan menatap layar kompter seperti yang aku lihat di TV.

Aku kuliah dengan semangat dan percaya diri. Bapak dan ibu juga tampak bahagia dan mendukung kuliahku meski terpaksa bapak dan ibu harus membanting tulang mencari uang tambahan dengan berjualan kue untuk membayar biaya kuliah. Sebenarnya aku merasa iba, kadang terbesit dalam benakku untuk putus kuliah dan mencari kerja. Namun cita-citaku untuk menjadi orang kaya dan sukses memantapkan aku untuk tidak putus asa.

Aku terus kuliah dan mencoba mencari kerja paruh waktu agar bisa membantu orang tua. Nyatanya mencari kerja tidak semudah yang aku bayangkan. Selama dua bulan aku menyusuri jalan, keluar masuk pintu untuk melamar kerja, dari pertokoan, rumah makan, dan lainnya namun tak satupun aku diterima. Sampai akhirnya teman satu kosku, yang mengambil jurusan pendidikan Matematika mengajak aku untuk mengajar les privat anak- anak orang kaya.

“Gimana San, elo masih enjoy ngajar privat anak-anak kan?” tanya Rina, teman kosku, yang memberikan aku pekerjaan dengan memberi les privat ke anak-anak orang kaya kenalannya. Selama tiga tahun kuliah, aku tekuni pekerjaan sambilan itu demi mendapat tambahan uang untuk membeli buku dan kebutuhan lain karena uang kiriman dari orang tuaku hanya cukup untuk membayar uang kuliah dan biaya kos-kosan.

“ Ya, begitulah!” jawabku asal.

“Kelihatanya elo ada passion untuk jadi guru San, buktinya anak-anak senang dan kerasan kamu ajar?” Rina menjawab sambil menghentikan kunyahan bakso, makanan favoritnya yang sedari tadi dia makan dengan lahap.

“Biasa aja sih, mungkin karena gue seperti mbaknya mungkin ya? Jadi mereka enjoy-enjoy aja.”aku menjawab dengan tanpa henti menikmati semangkok bakso yang isinya tinggal separuh.

“Eh, Iya Rin, mulai minggu depan gue sudah tidak bisa mengajar ya? Gue sudah diterima di PT. Adi Karya sebagai seorang akuntan. Jadi minta tolong elo carikan pengganti untuk mengajar anak-anak ya? pintaku kepada Rina.

“Alhamdulillah ya San, gue ikut senang kamu mendapatkan pekerjaan seperti yang kamu impikan. Masalah anak-anak itu urusan gampang. Nanti gue carikan teman-teman yang lainnya deh! Tapi jangan lupa, gaji pertama jatahku untuk ditraktir loh ya?” Rina mengernyitkan mata dan memandangku dengan penuh harap.

“Bereeesss… tinggal minta aja berapa mangkok bakso elo kuat makan.” Hahahah… kita tertawa terbahak-bahak bersama.

Satu tahun berlalu aku jalani sebagai akuntan di salah satu perusahaan di kota. Meskipun aku masih tergolong karyawan baru, tapi gaji yang kuterima sudah diatas UMR daerah. Belum lagi kalau aku harus lembur kerja. Pasti ada tambahan uang ekstra. Aku  merasa senang sekali, gajiku ini  sudah jauh melampaui gaji guru honorer yang ada di daerahku. Aku bisa membeli apa saja yang bapak ibuku suka meskipun mereka tidak pernah meminta.

“I’m siting here in a boring room… It’s just another rainy Sunday afternoon… I’m wasting my time… I got nothing to do… I’m hanging around. I’m waiting for you… But nothing happens and I wonder…..” sayup- sayup lirik lagu berjudul Lemon Tree, lagu jadul favoritku, yang dipopulerkan oleh Fools Garden pada tahun 1995 itu menyusup kedalam  telinga. Suara nada dering yang aku setel sejak beberapa bulan lalu itu mmebuat tubuhku menggeliat. Aku meraba-raba handphone yang terletak di atas nakas sebelah ranjang. Dengan malas aku membuka mata. Samar-samar aku lihat nampak jam masih menunjukkan pukul 03.00 WIB dini hari. Nomer tak dikenal mengerjab-kerjab di layar handphone membuat aku ragu untuk mengangkat. Dalam hati bertanya-tanya siapa gerangan yang menelpon sepagi ini.

“I’m siting here in a boring room… It’s just another rainy Sunday afternoon… I’m wasting my time… I got nothing to do… I’m hanging around. I’m waiting for you… But nothing happens and I wonder…..”  Nada dering itu terus saja merengek mengibah seperti anak kecil yang meminta mainan pada ibunya, mengesalkan tapi tidak bisa untuk tidak mengacuhkan.

Sejenak aku amati sekali lagi dan mengangkatnya, “ hello?” suaraku lirih.

“Assalamu’alaikum, ini Santi kan ya?” suara dari handphone itu terdengar panik dan tergesa-gesa.

“ Wa’allaikum salam, iya benar, ini siapa?” Tanyaku mengambang.

“ Ini aku San, Budhe Rusni” suara di balik handphone semakin panik.

“ Iya Budhe, ada apa? Kenapa pagi-pagi sekali menelpon?” jawabku seraya bangun dan memilih posisi berdiri karena ikut panik.

“Pulang San….. Pulang…. bapakmu…bapakmu terkena se…ran…gan jan…tung.” Terdengar suara terbata-bata disusul tangisan yang memecah dari ujung handphone..

Seketika aku ternganga, kaki dan tanganku gemetar tak terkendali, ingin rasanya aku  berlari pulang, namun kakiku tak mampu menumpuh bobot tubuhku yang hanya 48 Kg.

“Brrruuuuuuukkk” aku ambruk tak berdaya, air mata meleleh dari sudut mataku yang masih menyipit, ingin aku menjerit namun lidahku keluh tak bisa bersuara.

“ Bapaaaaaaaaaakkkk….” jeritku nyaring melihat banyak orang berkumpul dirumah.

Aku merasakan tangan Rina mencengkeram bahuku dan beberapa tangan –tangan lain memapahku. Namun aku tidak tau apa selanjutnya yang terjadi.

Telapak tangan lemah nan berkerut yang selalu menepuk-nepuk pantatku agar aku segera tidur di waktu kecil, dengan lembut mengelus-elus dahiku, sesekali terdengar isak lirih melewati gendang telingaku, membuatku mengerjapkan mata dan akhirnya mengurai tangis bersama-sama.

Kepergian bapak meninggalkan secarik luka, apalagi ibu yang menolak kuajak pindah ke kota untuk hidup bersama membuatku bagaikan makan buah simalahkama. Harus memilih melanjutkan cita atau berbakti menemani ibu di rumah.

“Apa kamu menyesal menemani ibu tinggal di desa, Nduk?” tanya ibu sembari mengantarkan aku keluar rumah menuju sepeda motor matic yang aku beli enam bulan yang lalu dari hasilku bekerja.

“Santi yakin Allah pasti senang jika Santi bisa menyenangkan Ibu. Jika Ibu bahagia Santi disini, maka tidak ada penyesalan sama sekali dihati Santi, Bu?” aku meyakinkan ibu dengan menggenggam erat tangannya dan memberikan senyum teridah kepadanya.

Ya, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke desa, menemani ibu yang tinggal sendiri di rumah. Aku melamar sebagai tenanga pengajar di SMA. Mulanya aku merasa terpaksa menjadi seorang guru di sekolah. Sungguh hal ini tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Apalagi aku harus meninggalkanku pekerjaan yang kugadang-gadang akan membuatku kaya. Namun berinteraksi dengan siswa, belajar bersama, jengkel dan bahagia, merasa dibutuhkan oleh mereka, menjadi idola membuatku mulai mencintai profesiku. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi orang yang bisa digugu dan ditiru bagi mereka. Aku selalu belajar dan belajar mengembangkan potensiku untuk mengantarkan mereka menjadi apa yang mereka cita –citakan.

“Bu Santi, ayo turun, kita sudah sampai ini.” Suara dan tepukan Bu Hanim dibahu sontak mengagetkanku.

“Eh iyaa Bu, gak terasa ya kita sudah satu jam perjalanan,hehehe” Sahutku cengengesan.

“Ya mana kerasa, lha wong Bu Santi melamun terus, menghitung kendaraan yang lewat di jalan ya?” kelekar Bu Hanim sambil menggandeng tanganku untuk turun dari mobil dan masuk ke gedung pertemuan.

Tidak terasa dua jam sudah aku berdiri di depan peserta seminar. Riuh tepuk tangan menandakan acara sudah berakhir. Aku menundukkan kepala sebagai tanda terima kasih atas apresiasi peserta. Bahagia sekali bisa menularkan ilmu kepada mereka. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka lontarkan tadi menunjukkan bahwa mereka mengikuti acara dengan antusias. Mungkin karena alasan yang sama, mereka juga ingin menjadi guru hebat yang akan menjadikan murid-muridnya menjadi hebat. Dan ketika aku menengadahkan kepala, kulihat samar-samar bapak duduk diantara peserta seminar. Tertegun aku melihat senyum bahagia yang terpancar dari wajahnya. Acungan dua jempolnyapun terarah kepadaku sebelum bayangan bapak menghilang ketika ketua panitia mempersilahkan aku untuk meninggalkan ruang seminar dan menuju ruang yang disediakan untuk pemateri.

Sungguh bayangan bapak tidak bisa lupa dari ingatan. Aku yakin bapak senang melihatku sekarang. “Terima kasih, Bapak. Jasa dan nasehatmu tidak akan pernah aku lupakan. Meskipun aku tidak bisa menggapai cita-citaku, namun aku bahagia dengan takdirku, menjadi pahlawan tanpa tanda jasa, mencerdaskan anak bangsa seperti yang kau mau.” lirihku dalam hati.

 

Cerpen_Ririn Rikmayati.

(Guru Bhs Inggris, MTs Assaadah 1)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *