JOGJA MEMANG ISTIMEWA

Sumber: https://arar.facebook.com/muraljogjakarta/photos/pcb.

MTs1-ShortStory

Perkenalkan, namaku Ezar kelas IX-A dan temanku Dimas kelas IX-C. Ini kisah singkat kami. Cerita singkat namun sangat membekas di ingatanku. Kadang, kalau teringat kejadian ini aku suka tersenyum sendiri. Entah apakah temanku Dimas juga merasakan demikian, yang jelas bagiku ini pengalaman yang menyenangkan.

Bermula dari Jogja (Yogyakarta), tepatnya di daerah Malioboro. Tanggal 23 Desember 2022, hari terakhir masa libur panjang, pergi bersama teman sekolahku telah usai. Kebetulan Aku dan Dimas satu bus bersama teman yang lain dan juga kelima guruku. Sekitar jam 4 sore aku turun dari bus. Kala itu langit memang tampak sudah mendung. Bukan sengaja menghiraukan, namun ini adalah tujuan terakhir tempat singgah kami selama di Jogja yang sudah kami nanti-nantikan. Siapa sih yang tak kenal dengan Malioboro. Salah satu tempat iconic yang ada di Jogja. Rasanya tak afdal kalau sudah di Jogja tapi tak mampir ke Malioboro. Semua wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang berlibur ke Jogja pasti berkunjung ke Malioboro untuk belanja oleh-oleh khas Jogja, jalan-jalan, bahkan hanya sekadar berswafoto dengan tiang legenda warna hijau bertuliskan arah jalan Malioboro.

Setelah turun dari bus teman-teman yang lain pun langsung berpencar, membentuk kelompok sendiri. Ada yang berjalan berkelompok dengan guru, antar teman pondok, teman main sekelas, dan Aku memilih berjalan bersama Dimas. Kami berjalan santai menyusuri tiap tokoh baju yang ada di samping kanan arah kami berjalan. Satu persatu tokoh yang menjual baju remaja kami hampiri. Kala itu aku sedang mencari oleh-oleh untuk keluargaku di rumah dan Dimas sibuk mencari kaos untuk dirinya sendiri. Setelah keluar masuk pertokohan, ketemulah kaos berwarna hitam, warna kesukaan Dimas. Model, gaya, dan harganya pun sesuai dengan keinginannya. Kami pun mengantre untuk membayar kaos tersebut. Tiba-tiba butiran air hujan mulai jatuh perlahan, membekas, membasahi segala hal yang dilaluinya. Orang-orang sibuk merapikan barang dagangan. Pak kusir pun sibuk memakaikan plastik penutup ke kuda mereka. Sedangkan para wisatawan masih tetap ramai menawar harga dan berjalan berkeliling di teras pertokohan.

Ku lihat jam di layar smartphone ku, ternyata masih ada waktu 20 menit untuk kembali ke bus. Aku dan Dimas memutuskan untuk memutar arah, kembali ke tempat parkir bus karena kami berjalan sudah cukup jauh. Selama perjalanan kembali ke bus, aku menjumpai teman-teman dari bus lain masih asyik menawar baju. Tak disangka, tiba-tiba listrik di sekitar Malioboro padam. Seketika suasana menjadi tak terkendali. Para pemilik tokoh pun panik. Pembeli yang sudah antre di kasir kebingungan karena mesin kasir yang mati serta lampu yang padam. Pembeli lain yang semestinya ingin masuk ke dalam tokoh pun tak jadi. Namun, dari kejauhan terlihat beberapa tokoh yang sudah antisipasi dengan memakai lampu otomatis dan genset, tampak seolah mereka sudah terbiasa dengan hal ini. Tapi tidak bagiku. Rasanya ini adalah pengalaman yang langka, untuk pertama kalinya aku merasakan pemadaman listrik di pasar Malioboro. ­Smartphone di saku celanaku bergetar, kulihat ada pesan di whatsapp grup bus c dari salah satu guruku. “Cepat kembali ke bus, kita akan segera melanjutkan perjalanan”, Perintahnya.

Sepuluh menit kemudian awan mendung yang semula berwarna abu-abu sekarang menjadi hitam pekat. Hujan mulai turun lebat berbarengan angin. Aku dan Dimas mempercepat langkah kami. Sampai di ujung teras pertokohan kami berhenti karena kerumunan wisatawan yang menunggu hujan reda. “Kami terjebak hujan pak, hujan deras sekali”, sahut Alan membalas pesan whatsapp guruku. “Saya tidak mau tahu, kita sudah terlambat pulang, bagaimanapun caranya kalian harus cepat kembali ke bus. Kalau dalam lima menit tidak kembali akan saya tinggal!”. Aku dan Dimas bertambah panik. Kami sepakat untuk menerobos hujan lebat itu. Tapi disisi lain parkiran bus itu masih sangat jauh. Kalau kita terobos hujan, yang ada baju dan barang bawaan kita basah kuyup terguyur hujan dan bisa sakit selama di perjalanan pulang.

Tak lama penjual jas hujan dan ojek payung mulai menghampiri. Di tengah-tengah kerumunan aku bertemu dengan Bu Liyah dan teman lainnya. “Bagaimana ini Bu, hujan deras sekali”, kataku. Aku dan teman-teman bingung. Sedangkan notifikasi di grup whatsapp terus menggetarkan smartphoneku, membuatku semakin panik. “Mas, coba kamu ke tukang ojek payung itu, tanyakan berapa harganya.”, Ujar Bu Liyah pada Dimas. Tanpa berpikir panjang Dimas langsung menerobos kerumunan wisatawan dan kembali sambil berteriak, “Seikhlasnya kata masnya Bu.”, “Oke, ayok siapa yang ikut Bu Liyah menyeberang sampai ke parkiran, maksimal lima orang!”. Dimas, Aku, Bu Liyah, Jaya dan Rizki bergegas menghampiri tukang ojek payung itu. Tiba-tiba entah dari arah mana temanku Rio menerobos ikut berteduh di bawah payung besar kami. Alhasil tempat Jaya tergantikan dengan Rio. Jaya yang tertinggal sendiri hanya bisa terdiam dan menunggu teman lain untuk diajaknya menerobos hujan, kembali ke bus dengan selamat dan tepat waktu.

Hujan lebat itu menimbulkan genangan air sebatas mata kaki orang dewasa. Karena badan Rio yang besar, payung kami berasa sempit. Selama berjalan ke arah parkiran, kami ramai saling berebutan payung, kami juga sempat salah jalan hingga payung besar kami menyenggol payung milik pedagang pentol. Kata Dimas pedagang pentol itu sempat marah pada kami sebab payung miliknya sampai terjungkal. Karena badan kami sudah basah jadi kami menghiraukan amukan pedagang pentol itu dan tetap melanjutkan perjalanan. Kami semua kesal dengan sikap Rio yang tak mau basah sendiri padahal dialah tamu yang tak diundang di bawah payung teduh kami. Namun apalah daya badanku yang tak sebanding dengan badan Rio.

Sesampainya di pintu parkiran, kami berlari ke arah bus yang sudah siap berangkat. Terdengar dari jauh suara teriakan Pak Herman, memanggil nama kami. aku segera bergegas untuk masuk ke bus dan benar saja kami berdua memang sudah ditunggu semua orang. Karena takut akan dimarahi, Aku dan Dimas bergegas mencari tempat duduk kami, sambil mengeringkan rambut dan baju kami yang basah. Ternyata masih ada satu siswa lagi yang masih belum kembali. Bus kami mulai berjalan. Semua guru ribut menelepon siswa itu, karena kata pak sopir jika bus sudah jalan keluar dari tempat parkir maka sudah tidak ada lagi tempat untuk berhenti dan harus jalan terus. Jika sudah seperti itu, terpaksa siswa yang terlambat tadi akan ditinggal. Tapi untungnya siswa itu segera berlari dan masih bisa mengejar bus kami yang berjalan pelan. Kami semua bersyukur dia tiba di bus dengan selamat dan bisa kembali pulang bersama kami. Setelah semua kejadian itu, Aku dan teman-teman merasa lelah dan kami pun bersiap untuk beristirahat selama perjalanan pulang.

Ya.. itulah kisahku dan Dimas. Cerita yang cukup menarik bukan. Banyak pelajaran yang bisa Aku ambil dari pengalaman liburan itu. Salah satunya kita tidak boleh jadi orang yang egois dalam keadaan apa pun, apalagi saat dalam keadaan genting atau susah. Berpikirlah dahulu sebelum mengambil keputusan, supaya kita tidak menyakiti perasaan orang lain.

 

Penulis

Alif Ezar Aunillah (9A)

Dimas Anindya Alifi (9C)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *