PENDIDIKAN ANTARA MENGHAFAL DAN BERPIKIR

Oleh Ibu Syarifah, Lc (Guru Bahasa Arab Mts Assaadah 1)

MTs-1, News;

Pernah suatu ketika, saya mendapat pertanyaan dari salah seorang jamaah, “Bagaimana sholat saya, jika saya tidak nyaman karena menjadi makmum dengan Imam yang kurang fasih?…” dia agak sensitif dengan pelafalan bacaan Quran seseorang. Kemudian saya jawab “Fasih bacaan memang salah satu syarat untuk jadi imam sholat, tapi bukan satu-satunya syarat, jadi tidak perlu ragu (mamang dalam. B. Jawa), jikalau memang dihadapkan pada kondisi yang seperti itu.” Begitu Jawaban saya. Akan tetapi saya kemudian menanggapi dan bergumam dalam diri, orang yang bacaannya tidak fasih kemudian menjadi Imam, saya anggap dia tidak tahu diri, jika memang ada orang lain yang lebih mumpuni di bidangnya.

Dan Alhamdulillah semakin kesini, generasi lulusan Taman Pendidikan Qur’an (TPQ) dengan bacaan al quran yang fasih makin bertebaran, harapan ketidaknyamanan diatas tentu beberapa tahun ke depan akan terselesaikan.

Selain itu beberapa waktu terakhir ini, mulai menjamur program² sekolah tahfidz, dan pesantren² tahfidz yang dulu sangatlah langkah. Hingga ada program TV yang menayangkan program Tahfidzul Qur’an. Ajang yang menampilkan keahlian seseorang dalam menghafal al quran. Di situ, dipertontonkan seorang hafidz yang tidak sekadar hafal ayat, tapi juga surat hingga di halaman berapa ayat itu berada. Sehingga banyak para orang tua yang berdecak kagum, kemudian berbondong-bondong mengirim anak mereka ke pendidikan Tahfidzul quran.

Menghafal itu boleh dianggap prestasi. Untuk menghafal diperlukan upaya dan energi yang tidak sedikit. Jadi, tidak semua orang bisa melakukannya.
Rata² orang tua terobsesi menghantarkan anaknya menjadi hafidz dan hafidzah, hal ini di dorong keinginan, keutamaan hafidz dan hafidzah adalah bisa memakaikan Taajul waqaar pada orang tuanya, sebagaimana dalam hadits yaitu Memakaikan makhkota di akhirat kelak, dan selain upaya menghafal sendiri memanglah ibadah mengabdikan diri pada al quran. Kekurangannya, hanya sedikit orang tua yang membekali pemahaman ke anaknya sehingga anak merasa tertekan. Dan tidak akan berefek baik. Anak di iming² menjadi ahlul Quran.

Maaf tunggu dulu, sematan untuk ahlul Quran adalah Qoulan wa ‘amalan. Dan saya pribadi lebih sepakat bahwa ahlul Quran adalah orang² yang mau berfikir dan berupaya menyebarkan ajaran yang terkandung dalam al Quran. Dan itu tidak lepas dari ilmu²nya al Quran. Ada fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, dan ilmu pendukung lainnya. Karena tanpa itu semua al quran hanya bisa dibaca tanpa difahami.

Dengan menghafal saja, selanjutnya apa? Menghafal itu bukan karya. Menghafal itu kegiatan menyimpan informasi di memori, lalu mengeluarkannya kembali. Itu seperti kita menyimpan file di komputer, lalu sesekali membukanya. Cuma itu. Tidak ada produktivitas di situ.

Kerja intelektual itu berpikir. Kandungan hafalan itu adalah informasi untuk rujukan. Ia bisa dihafal, bisa juga tidak. Saya tidak mengatakan hafalan tidak penting, bagaimanapun hafalan tetaplah dibutuhkan untuk menjaga dan merawat keorisinilan al Quran, akan tetapi tanpa aktivitas berpikir mengolah gagasan, hafalan itu jadi tidak bermakna.

Kita jangan lupa belasan abad yang lalu, para sahabat selain menghafal al Quran juga mempelajari ilmu² al Quran. Bahkan sebagian sahabat hanya mempelajari ilmu²nya saja. Sedikit yang mendalami al Quran juga disertai hafalan. Itu membuktikan pentingnya mempelajari ilmunya dari hanya sekedar menghafalnya saja. Tidak ada dalam sejarah, para sahabat yang hanya hafal al quran saja tanpa mendalami ilmu² yang terkandung di dalamnya sebagaimana fenomena yang banyak terjadi di zaman ini.

Oleh karena itu, fokus utama dalam pendidikan seharusnya adalah berpikir, membangun gagasan.
Jangan sampai terjadi, kita terlalu sibuk dengan hafalan, lupa berpikir. Ingatlah bahwa Google, Facebook, Yotube, TikTok, WhatsApp, Tahu Geprek, Mie Setan, Cireng, berbagai produk yang kita nikmati setiap hari, tidak dihasilkan dari hafalan, tapi dari pikiran. Lahirnya cendekiawan-cendekiawan, pakar-pakar di bidangnya adalah dengan berpikir dan melahirkan gagasan – gagasan yang positif untuk ummat.

Jangan sampai anak-anak kita dididik untuk mengejar keutamaan menghafal, tapi lalai mengejar keutamaan berkreasi. Produk kreatif yang bermanfaat bagi manusia adalah amal yang tidak putus, meskipun pelakunya sudah meninggal dunia. Wallahu a’lam.

Jum’at keramat, selalu ada cerita antara aku, kau dan dia. 😊

.VA. MTs1.News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *